Akar historis-kultural pesantren tidak terlepas dari perkembangan Islam di Indonesia yang bercorak sufistik dan mistik. Jika dilihat dalam konteks yang lebih besar lagi, aliran sufisme dan mistik yang melembaga dalam tarekat-tarekat di Jawa ini juga merupakan salah satu faktor yang turut mendorong proses Islamisasi secara umum. Dalam pergumulannya, pesantren menyerap banyak budaya Jawa pedesaan yang cenderung statis dan sinkretis. Oleh karena itu, di samping karena basis pesantren adalah masyarakat pinggiran yang berada di desa-desa, pesantren sering disebut sebagai masyarakat atau Islam tradisional. Pesantren memiliki kekhasan tersendiri jika dibanding dengan lembaga pendidikan lainnya. Akar budaya yang kuat menyebabkan pesantren menjadi sebuah entitas yang begitu erat dengan masyarakat dalam menanamkan misinya. Bahkan pesantren menjelma menjadi sebuah sub-kultur yang bersifat idiosyncretic, yang tidak dapat terpisah dari masyarakatnya.
Pesantren sudah mulai muncul pada masa pertumbuhan Islam di Jawa. Hal ini dapat dilihat dari munculnya pesantren Ampel Denta Surabaya yang didirikan oleh Sunan Ampel atau Raden Rahmat. Selanjutnya muncul pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri, yang pesantrennya terkenal sampai ke daerah Maluku. Orang-orang dari daerah itu, terutama Hitu, berguru kepada Sunan Giri.
Memasuki era kolonial, pondok pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan rakyat pribumi. Pada dasawarsa terakhir abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan kolonial, namun hanya diperuntukkan bagi sekelompok kecil masyarakat, terutama kalangan ningrat. Letaknya yang kebanyakan berada di wilayah pinggiran serta doktrin jihad yang kuat untuk melawan penjajah, menjadikan pondok pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan rakyat tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Ketika Indonesia memasuki era kemerdekaan, kebanyakan pondok pesantren masih berada di wilayah pinggiran. Pada tanggal 22 Desember 1945 Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengamanatkan agar pendidikan di langgar-langgar (pesantren) dan madrasah terus berjalan dan dipercepat. Meskipun demikian, sistem pendidikan pondok pesantren tidak masuk dalam sistem pendidikan nasional. Seiring dengan program pembangunan di Indonesia, dengan watak kemandiriannya, pondok pesantren mengalami perkembangan yang pesat. Pondok pesantren tidak hanya menjelma sebagai lembaga pendidikan rakyat tetapi juga sebagai agen perubahan dan pembangunan masyarakat.
Sejak masa Orde Baru bermunculan banyak organisasi yang orientasi kegiatannya berfokus pada bidang sosial dan keagamaan, seperti bidang pendidikan. Pendirian lembaga pendidikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan. Berbagai peran potensial yang dimainkan oleh pesantren menjadikan pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat di sekitarnya sekaligus menjadi rujukan moral (reference of morality) bagi kehidupan masyarakat umum.
Sebagai salah satu kota wali di wilayah Jawa, Kudus memiliki Sunan Kudus dan Sunan Muria sebagai local model yang sangat berpengaruh di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa Tengah. Bahkan kebesaran dua wali tersebut memberikan justifikasi Kudus sebagai “kota santri”, dengan salah satu indikasinya adalah banyak pesantren dengan berbagai macam variannya. Dengan demikian, Kudus sebagai kota kecil yang memiliki 86 pesantren produktif dapat menjadi media untuk mencapai tujuan pembangunan daerah melalui mobilisasi sumber daya lokal (santri dan masyarakat). Produktivitas pesantren dapat dilihat secara manajerial, kurikulum, kepemimpinan, alih generasi, rekruitmen guru dan santri, serta proses pendidikan dan pembelajaran.
Pesantren dengan berbagai macam spesifikasi, visi, misi, dan orientasinya, menjadi varian menarik, terutama dalam memajukan pendidikan Islam di Kudus. Pemetaan warisan tradisi Kudus Kulon dan Kudus Wetan memberikan corak, seperti tradisi dan nuansa keilmuan yang semakin menarik bagi masyarakat di luar Kudus. Ketertarikan tersebut berpangkal pada wilayah dan kantong-kantong santri yang tidak lagi didominasi oleh komunitas Menara, akan tetapi komunitas dan kantong-kantong lain yang potensial, seperti Jekulo, Undaan, Gebog dan daerah-daerah pinggiran lainnya.
Selain sebagai wadah pendidikan yang memiliki peranan penting dalam masyarakat, hadirnya seorang pemimpin pesantren akan sangat mempengaruhi perkembangan sebuah pesantren. Seorang kiai yang dipercaya memiliki keunggulan secara moral maupun religius sangat penting peranannya dalam masyarakat. Keberadaan kiai dan pesantren merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kiai muncul dari pesantren dan pesantren berkembang dari kiai. Dengan demikian, pesantren beserta kiai-kiai berperanan penting dalam proses pendidikan masyarakat. Sebagian kiai di Kudus tidak memiliki pesantren dan bahkan tidak memiliki santri tetap, sehingga tidak selalu terikat secara ketat dengan kegiatan-kegiatan pesantren. Namun demikian, di sisi lain juga banyak kiai yang memiliki pesantren, walaupun mereka tidak secara full timer (mukimin) menangani pesantren.
Pada umumnya kebesaran seorang kiai sangat berhubungan dengan kebesaran pesantren yang diasuhnya. Semakin besar pesantren yang dimiliki seorang kiai, semakin besar ke-kiai-annya, namun tidak demikian yang terjadi di Kudus. Kondisi pesantren di Kudus tidak sebesar pesantren-pesantren di Jawa Timur. Jumlah pesantren di Kudus sampai saat ini mencapai puluhan pesantren, namun yang terbesar ada tiga, yakni Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an (PTYQ), Pondok Pesantren Darul Falah Jekulo dan Pondok Pesantren al-Muayyad Kudus. Pesantren yang pertama memiliki lebih kurang 900 santri dengan fokus pembelajaran menghafal al-Qur’an dan pesantren ke dua memiliki lebih kurang 600 santri dengan pembelajaran ilmu-ilmu syariah dan dalail al-khairot, dan pesantren ke tiga memiliki santri sekitar 600 orang. Pesantren-pesantren yang lain memiliki santri lebih kurang 100 orang.
Salah satu pondok pesantren besar di Kabupaten Kudus adalah pondok pesantren Darul Falah. Pesantren salaf yang terkenal dengan Thariqah Dalail al-Khairat ini berlokasi di Desa Jekulo, Kecamatan Jekulo, Kudus. Wilayah Kecamatan Jekulo termasuk dalam wilayah “Kudus Wetan”. Pondok pesantren yang didirikan oleh KH Ahmad Basyir pada tahun 1970 ini memegang teguh ajaran Dalail al-Khairat dengan ciri khas puasa bertahun-tahun. Pondok pesantren Darul Falah memiliki motto “Njiret Weteng, Nyengkal Mata” yang memiliki makna ''Masa muda bersusah payah, maka pada saat tua akan menemukan kesuksesan. Sengsara itu berati berani lapar, berani bangun tengah malam, dalam artian untuk belajar.'' Motto kalimat ini bersumber dari petuah Sunan Kalijogo dalam salah satu Kitab Jawa yang menyerukan para santrinya untuk berperilaku prihatin dan bersahaja (tidak mementingkan kenikmatan lahiriah). Ajaran tersebut menjadi salah satu dasar dari ajaran Dalail al-Khairat yang dikembangkan di pesantren Darul Falah. Dalail al-Khairat adalah salah satu ijazah dengan ciri khas puasa bertahun-tahun, yang di kalangan masyarakat awam dikenal dengan sebutan puasa dalail. Ijazah Dalail al-Khairat ini pula yang menjadi ciri khas Pesantren Darul Falah.
Santri-santri yang belajar di Pesantren Darul Falah ini berasal dari berbagai daerah, yaitu: Kudus, Jepara, Demak, Kendal, Cirebon, Jakarta, Tangerang, Banten, dan sejumlah kota di Sumatera. Di pesantren ini dipersiapkan asrama atau pondok yang digunakan oleh para santri untuk tinggal selama mereka belajar. Santri-santri yang belajar di pesantren Darul Falah terdiri atas santri putra dan santri putri.
Pesantren Darul Falah menerapkan metode pembelajaran perpaduan antara sistem tradisional dan sistem modern. Penggunaan sistem tradisional, berlangsung pada proses pengkajian kitab salaf dengan cara bandongan dan sorogan. Metode modern diadopsi dengan adanya pengelompokan santri sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Dengan lahirnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pondok pesantren memasuki babak baru dalam dunia pendidikan di negeri ini. Pondok pesantren telah masuk dalam bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional. Dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Kemudian dalam pasal 30 ayat 4 dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis. Dengan adanya ketentuan ini, secara formal pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan perhatian serius sebagaimana sub-sistem pendidikan yang lain.
Undang-Undang ini memiliki dampak yang positif bagi perkembangan pendidikan di Pesantren. Fenomena ini dapat dilhat juga pada perkembangan pendidikan di Pesantren Darul Falah. Karena metode pembelajaran yang diterapkan sangat sistematis, Pada tahun 2003 pesantren Darul Falah dipercaya sebagai pengelola program wajib belajar 9 tahun di Kabupaten Kudus. Dengan program ini, para santri yang telah menempuh pendidikan selama 9 tahun di pesantren ini diakui setara dengan menempuh pendidikan 9 tahun program pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Hal ini memiliki efek positif bagi para santri. Program pendidikan dasar (dikdas) ini menjadikan para santri yang lulus ujian mengantongi dua dokumen kelulusan yang setara dengan ijazah MI/SD atau MTs/SMP masing-masing Surat Tanda Lulus (STL) dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Dengan dokumen itu, para santri salaf bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi atau memasuki pasaran kerja.
Dalam perkembangannya pada tahun 2004 untuk memudahkan pengelolaan, kepengurusan pondok pesantren dipecah menjadi empat, yakni Darul Falah I, II, III, dan IV. Darul Falah I dan II diperuntukan bagi santri putra, sedangkan Darul Falah III dan IV untuk santri putri. Kegiatan belajar para santri terdiri atas kegiatan harian, mingguan, dan selapanan atau bulanan. Kegiatan harian meliputi program tahfidh Alquran untuk santri putri, jamaah shalat, tadarus, kajian kitab sekolah pagi, musyawarah wajib, musyafahah Alquran, takhashshush An-Nasyri dan diakhiri qiyam al-lail.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar